Sabtu, 28 Agustus 2010

Setelah Pesta itu Berlalu

Kisah Ke-3
Andai saja waktu bisa diputar kembali ke belakang, ingin rasanya meralat semua perjalanan hidupku yang menjijikkan, akan aku ganti dengan selaksa amal bermanfaat. Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah berlalu dan takkan kembali. Kini aku menatap masa depan yang sangat suram. Kenikmatan yang aku rasakan dulu ternyata ibarat racun berbalut madu.
Ibuku kerja di perusahaan jasa telekomunikasi dan ayah di sebuah instansi pemerintah. Keluargaku tergolong berkecukupan. Ayah, ibu, dan kakak-kakak sangat menyayangi aku. Maklum aku adalah anak yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Kadang kasih sayang mereka terkesan berlebihan sehingga mereka memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berbuat sesuai keinginanku.
Usiaku kini menginjak 24 tahun. Lahir di Bandung, anak bungsu dari lima bersaudara dan aku satu-satunya anak perempuan. Selisih usia aku dengan kakak-kakak cukup jauh, dengan kakak terakhir saja selisih sembilan tahun. Saat aku masih balita kakak pertama menikah dan saat aku SD kakak
kedua menikah dan ketika SLTP kakak ketiga menikah. Kakak terakhir menikah setelah aku lulus SMU.
Aku tergolong anak cerdas, saat di bangku SD, aku selalu masuk tiga besar. Prestasiku menurun sejak SLTP kelas III disebabkan tidak ada lagi yang membimbingku di rumah. Kakak-kakakku yang kedua dan ketiga sebagai pembimbing setiaku telah menikah dan pindah rumah di luar kota. Sedangkan kakakku terakhir sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Sebagai anak yang semenjak kecil dimanja, otomatis aku kehilangan pegangan. Sementara ibu dan ayah nyaris tidak punya waktu untukku.
Sejak SLTP kelas III itu aku mulai tomboy. Temanku kebanyakan laki-laki. Tak jarang aku traktir mereka semua. Setiap ada acara piknik, aku selalu membawa makanan yang banyak. Mereka, baik teman laki-laki maupun wanita menyenangiku karena aku terbuka, bebas, dan tidak pelit. Kadang aku bawa mereka ke rumahku yang mewah itu untuk sekedar hura-hura.
Banyak laki-laki yang menyenangiku bahkan sebagian nekad menyatakan cinta secara langsung. Lucunya, ada guru yang sudah beranak istri merengek di depanku untuk “menyayangiku”. Kata teman-teman, aku siswi paling cantik, layak bersaing dengan artis Paramitha Rusady.
Anehnya, hingga tamat SMU aku tidak pernah punya pacar. Justru aku takut jika punya pacar, bagaimana perasaan teman laki-laki yang lain. Setiap ada yang menyatakan cinta, aku mengajak berteman saja. Maka teman laki-lakiku banyak yang hakekatnya mereka mengharapkan cintaku.
Saat liburan tahunan, aku camping bersama mereka. Tanpa aku sadari suatu malam aku merasa ngantuk sekali dan aku tertidur pulas sekali. Anehnya, bangun tidur aku merasa capek dan serasa ada beban berat. Setelah lama baru aku sadar aku telah “diperkosa” oleh tiga temanku. Aku diberi serbuk putih semacam heroin hingga aku tak sadarkan diri. Sulit menuntut mereka karena tidak ada bukti, aku pun malu mengungkap hal ini.
Menginjak SMU kelas III akusemakin gila. Aku seperti sosok yang tanpa nilai. Bersama teman laki-lakiku kadang bercumbu. Sekalipun aku tidak menganggap mereka pacar, tapi diam-diam ada tidak orang teman yang aku anggap spesial. Mereka masing-masing berbeda. Yang pertama mahasiswa, kedua teman sekelasku (bodyguardku), dan terakhir teman bermain yang satu RW. Aku punya jadwal tersendiri bertemu mereka bertiga.
Namun sayang teman sekampungku nampaknya kecewa karena aku tidak menganggapnya sebagai pacar. Padahal sebenarnya dia kaya dan paling ganteng di antara
ketiga temanku. Lagi pula suatu waktu dia pernah memergokiku lagi jalan-jalan dengan temanku yang mahasiswa. Sejak itu dia tidak pernah ke rumahku. Menjelang kelulusan, aku hanya memiliki satu teman spesial yaitu yang sekelas, yang mahasiswa ternyata menalanjutkan kuliah ke Australia. Ketiga temanku itu aku beri kebebasan untuk menjamah tubuhku asal tidak “hubungan intim”, sekalipun kadang aku yang tidak tahan.
Tragedi sesungguhnya saat perpisahan. Ketika itu aku dan teman-temanku sepakat mengadakan pesta perpisahan di vila milik ayahku di Puncak. Pesta berlangsung sampai larut malam dan rencananya sampai malam berikutnya dengan seabek acara pesta yang sangat meriah. Saat malam semakin larut, aku merasa ada yang lain, aku seperti di alam lain.
Aku baru sadar ketika telah berada di kantor polisi. 20 temanku yang lain yang kebanyakan laki-laki juga ada di sana. Aku menangis sekeras-kerasnya, di depan kamera televisi aku memanggil-manggil ayah dan ibuku. Aku melihat banyak sekali wartawan bahkan sebagian ada yang dari tabloid A yang pernah nawari aku berphoto setengah bugil untuk tabloidnya, namun aku menolak.
Menurut informasi dari polisi, sesuai laporan dari petugas lapangan, aku didapati dalam keadaan bugil sekamar berempat dengan laki-laki. Sementara teman wanita yang lain
juga sama. Bahkan ada sebagian lagi tak sadarkan diri di ruang pesta (ruang tengah). Menurut polisi, yang memberatkan adalah ditemukan heroin dalam jumlah yang cukup banyak dan alat suntik di masing-masing kamar. Yang cukup mengagetkan, di kantong siswa laki-laki ditemukan lintingan ganja dan alat hisap shabu-shabu. Perkiraanku, mungkin itu yang akan digunakan mereka pada malam berikutnya. Padahal aku sebenarnya tidak pernah mengenal barang-barang itu.
Esok harinya berbagai media memberitakan, “Pesta Seks, heroin dan Shabu-shabu” tertulis dengan huruf besar, judul media-media itu. Petang harinya aku pun melihat berita telavisi yang melaporkan hal yang sama, nampak wajahku yang lagi meronta-ronta di depan kamera. Sebagian berita itu menyebutkan aku anak pejabat, kebetulan salah satu mobil yang diamankan polisi adalah mobil dinas ayahku.
Singkat cerita, semua diadili dan dijatuhi hukuman yang bervariasi, ada yang setahun, dua tahun dan yang tertinggi empat tahun. Aku termasuk yang setahun, namun berkat jaminan uang, aku langsung bebas. Sementara itu, teman spesialku dipenjara empat tahun karena dianggap pengedar, terbukti ditemukannya lintingan ganja di tasnya. Padalah menurut pengakuannya, itu bukan barangnya. Aku
percaya karena selama ini dia cukup baik, berprestasi dan sebenarnya tidak suka mabuk-mabukkan.
Semenjak kejadian itu aku lebih banyak mengurung di rumah dan memang aku dikurung oleh ayah dan ibuku apalagi setelah kedapatan hamil tak lama setelah kejadian itu. Akibatnya aku tidak diperbolehkan melanjutkan study. Keadaannya kini berbalik 180 derajat. Aku tidak memiliki teman lagi. Aku harus melahirkan anak yang tidak jelas ayahnya siapa. Aku pun malu kepada tetanggaku. Aku juga sudah sangat terkenal sebagai wanita kotor. Akhirnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatiku.
Sementara ayahku semenjak kejadian itu kesehatannya menurun hingga karirnya terhenti. Dua tahun kemudian dia meninggal karena stroke. Bagitu juga ibu kini kelihatan sakit-sakitan.
Jika ingat masa-masa itu aku suka nangis, mengapa jalan hidupku sangat menjijikkan? Tapi aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa akulah yang akan menanggung semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda menuliskan komentar Anda tentang tulisan diatas di sini