Minggu, 29 Agustus 2010

Kisah Ke-3 Menghitung Hari


Tidak ada manusia yang paling malang selain Aku. Hidup bertemankan sepi. Detik-detik kematian menunggu di depan mata. Tubuhku hancur, masa depanku sirna dan aku tidak boleh lagi bercita-cita apalagi menikmati hidup, padahal aku masih sangat muda. Yang sangat menyakitkan, tidak ada yang peduli nasibku bahkan keluarga pun malu mengakuiku sebagai anggota keluarga. Kini aku tinggal menghitung hari, menunggu saat ajal menjemput.
Usiaku kini menginjak 26 tahun. Lahir dari keluarga berantakan sebagai anak sulung dari empat bersaudara dan aku satu-satunya wanita. Ayah beristrikan tiga dan aku dari ibu yang kedua. Kata orang, aku sendiri lahir saat pernikahan itu belum dilangsungkan. Harta yang menyebabkan ayahku bebas melakukan perselingkuhan. Sebagai pengusaha sukses, dia bisa menutup mulut seluruh istri-istrinya untuk tidak rewel tentang keberadaan dirinya.
Ditinjau dari latar belakang pendidikanku sukses. Sekalipun tidak tamat sarjana, tapi pendidikan formal lainnya sukses aku jalani. Selain itu aku menekui bidang modeling
dan public relation lewat berbagai kursus atau pendidikan non formal.
Namun sayang, keluargaku nyaris tidak pernah memberiku pendidikan agama. Kehidupan rumah tangga hanya berkutat seputar materi dan hura-hura. Aku tidak pernah melihat ibu shalat begitu juga ayah dan anggota keluarga lainnya, kecuali shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang setahun sekali itu. Itulah biang kehancuran saya kini.
Awal tregedi hidupku, saat pertama kali nonton film porno bersama ayah dan ibu. Waktu itu ayah mengira aku sudah tidur, padahal pura-pura tidur. Bahkan aku melihat “adegan” sesungguhnya yang diperagakan ayah dan ibu sehabis nonton film itu. Ada perasaan tak karuan dalam diriku, aku merinding, takut dan di sisi lain ingin mencoba. Itu terjadi saat aku masih SLTP kelas I.
Akibatnya tumbuh sebagai anak yang cepat dewasa. Sekali-kali aku mencuri berbagai video porno milik ayahku dan aku tonton sendiri saat seluruh keluarga tidak ada di rumah. Nafsu birahiku terus memuncak, padahal aku masih sangat belia. Puas nonton sendiri, aku ngajak salah seorang teman bermainku yang juga anak laki-laki dari istri ayah yang pertama. Dia lebih tua tiga tahun dari saya. Saat film masih berjalan, namun aku terlanjur terangsang dan diam saja
ketika dia menggerayangi seluruh tubuhku hingga aku menikmati keperawananku direnggut saudara tiriku itu.
Kejadian itu terulang, kali ini dia yang mengajakku dan cenderung memaksaku untuk sama-sama nonton film itu lagi. Kembali untuk ke sekian kalinya aku melakukan hal yang belum layak aku lakukan. Perilaku bejat itu aku lakukan hingga aku menginjak kelas III SLTP, berarti telah berselang setahun setengah. Aku pun pernah “melakukan” di hotel dan tempat wisata bersama dia jika lagi libur. Aku pun telah menghabiskan puluhan pil KB (pil anti hamil) sesuai kesepakatan berdua.
Saat aku kelas III, ayahku menceraikan istri pertama yang juga ibu dari pasangan “kumpul keboku” itu. Tak lama kemudian mereka sekeluarga pindah ke rumah keluarganya di Jakarta tanpa aku tahu di mana alamat lengkapnya. Hampir enam bulan aku tak melakukannya, namun aku sering masturbasi. Baru ketika liburan semester, aku menikmati lagi saat camping dengan pacar baru kelas III SMU. Hingga lulus SLTP aku hanya melakukannya tiga kali; sekali saat camping itu dan dua kali di rumah saat dia membantuku mengerjakan PR. Akhinya kami putus karena dia melanjutkan kuliah di luar Bandung.
Suatu hari ayahku membawa seorang wanita muda saat itu ibu lagi ke Tasik. Ayah bilang dia sekretarisnya.
Namun ternyata dia pelacur papan atas (hostest). Dia memaparkan semuanya kepadaku termasuk liku-liku untuk menjadi seperti dia. Dia bilang aku sangat manis, cantik dan seksi. Dia tidak percaya aku baru kelas I SMU karena tubuhku bongsor. Saat ayah pulang dari beli makanan baru aku masuk lagi ke kamar.
Malam Minggu, sesuai dengan yang dia katakan, aku jalan-jalan ke berbagai tempat yang disinyalir tempat mangkal para gadis muda yang berprofesi sebagai pelacur muda. Aku kaget ternyata sekitar Jalan Dago, Cibadak, Sudirman, Cihampelas, dan Braga berjejer para wanita, kebanyakan masih muda yang lagi menawarkan “sorga”. Di sekitar jalan itu memang banyak tempat hiburan. Yang mengherankan, di Braga banyak yang melakukannya di mobil, sehingga dikenal dengan “mobil bergoyang”.
Aku juga coba premium call yang menurut dia sarana transaksi seks. Ternyata semuanya benar, lewat telephon itulah saya bisa dapatkan teman kencan sebanyak-banyaknya. Hasilnya aku dapatkan teman banyak yang semuanya sewaktu-waktu bisa saya ajak kencan. Mulai saat itu entah sudah berapa orang yang pernah tidur denganku di berbagai hotel, padahal waktu itu aku masih anak II SMU. Dengan teman SMU pun aku sering melakukannya, prinsipnya
ARDATH atau Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil. Kegilaan itu saya alami hingga lulus SMU.
Menginjak bangku kuliah pengalamanku di dunia hitam makin luas. Aku menjadi “ayam kampus”. Aku terdaftar di sebuah hotel berbintang sebagai wanita muda yang sewaktu-waktu bisa dipanggil. Uangku semakin banyak karena mereka yang “tidur” denganku di hotel, umumnya para pengusaha atau pejabat yang yang lagi kesepian karena tugas luar daerah atau memang orang setempat yang kelebihan uang. Aku pernah ditawari sebagai bintang film panas oleh salah seorang produser yang pernah tidur denganku, tapi aku menolak karena sibuk. Dari banyak laki-laki itu kebanyakan aku melayani para pengusaha keturunan Cina dan sekali-kali orang bule.
Petualanganku semakin jauh hingga tak terasa aku telah menginjak tingkat tiga. Nilai mata kuliahku tergolong bagus, jika ada dosen yang doyan uang, aku sogok atau aku gunakan rayuan maut. Hingga menginjak tingkat empat atau semester tujuh, aku mulai merasakan kelelahan yang sangat, aku malas kuliah. Akhirnya aku cuti dulu dua semester, namun pekerjaan rutinku sebagai “ayam kampus” tetap berjalan.
Nampaknya aku keasyikan, dua semester bahkan tiga semester aku lalui, aku kaget saat pengumuman mahasiswa
yang di-DO termasuk aku. Tapi aku tak ambil pusing karena diam-diam aku kursus modeling dan public relation. Aku ingin menjadi artis sungguhan atau nantinya aku ingin berhenti berpetualang seks dan akan memilih pekerjaan baik-baik.
Saat usiaku menginjak 24 tahun kelalahanku semakin menjadi-jadi. Aku sering memeriksakan diri ke rumah sakit, dokter bilang, saya hanya perlu istirahat. Yang aneh, flu sulit sembuh. Menginjak usia 25 tahun aku mendapatkan bintik-bintik di sekitar tubuhku yang lama-kelamaan menjadi luka.
Aku periksakan ke dokter ahli kulit hasilnya tidak memuaskan. Hingga suatu waktu aku periksa ke dokter ahli kelamin, aku kaget, katanya aku mengindap penyakit mematikan. Aku periksa lagi ke dokter yang lebih ahli di rumah sakit besar, ternyata aku terinfeksi HIV positif dan hanya berselang beberapa tahun kemudian akan berubah jadi AIDS. Kata dokter, tanda-tanda AIDS sudah mulai nampak. Aku dirawat di rumah sakit besar dalam ruangan khusus yang sepi dan terisolir, bahkan dokter pun tak aku kenali wajahnya karena seluruh tubuh ditutup.
Kata dokter, aku terinfeksi HIV kira-kira 7 tahun yang lalu dan terus mengalami masa inkubasi sampai sekarang. Mungkin saat aku semester III, saat itu aku sering
melayani bule. Bahkan seminggu di Bali, hampir tiap malam bule-bule itu yang aku layani.
Semenjak itu aku murung, penyakitku terus bertambah. Rasa sakit di seluruh tubuhku sudah teramat sakit. Makin hari aku semakin tak bertenaga. Kecantikan dan keseksian yang aku miliki dulu, kini tingggal kenangan. Aku sadar ini kutukan buatku. Ingin rasanya aku ibadah, tapi tubuhku sulit bergerak dan aku tak bisa bagaimana shalat itu, yang aku lakukan hanya berdoa semoga Tuhan mau memaafkan diriku.
Keluargaku semenjak tahu aku terkena AIDS, tidak pernah melayatku ke rumah sakit bahkan kabarnya mereka malu mengakuiku sebagai kaluarga. Dalam usiaku ke-26 aku benar-benar sendiri, tubuhku makin rapuh, malaikat Izrail telah siap di sampingku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda menuliskan komentar Anda tentang tulisan diatas di sini