Sesal kemudian tidak ada artinya. Namun memang tidak ada penyesalan di depan. Semuanya telah terjadi, tinggal kini menerima akibat dari perilaku bejat itu. Kisah ini menunjukkan bahwa untuk terjerumus pada kemunkaran jalannya setapak demi setapak atau selangkah demi selangkah. Juga mereka yang datang dari keluarga baik-baik, tidak menjamin menjadi baik jika lingkungannya tidak baik.
Idealnya jika tahu dirinya akan dijerumuskan pada perbuatan dosa, maka harus menghindar dari lingkungan (rumah) itu, namun yang terjadi malah dia sendiri lantas menikmati perzinaan itu. Maka ketika dia menghindar, itu menjadi tidak berarti karena perzinaan itu telah berlangsung lebih setahun.
Sementara itu impotensi yang dialaminya, tidak lain akibat derita psikis yang berlarut-larut yaitu perasaan dosa yang mendera selama bertahun-tahun. Dunia kedokteran pun mengakui, penderita impotensi (disfungsi ereksi) kebanyakan bukan disebabkan faktor fisik melainkan psikis seperti kasus di atas.
Terapi yang harus dijalani tentu bukan terapi fisik melainkan harus terapi psikis. Karena itu sekalipun memakai obat kejantanan, baik yang diminum maupun yang dioleskan secara over, tidak akan berdampak apa-apa karena panyekitnya bukan pada fisik. Bahkan justru obat-obat itu akan semakin merusak kejiwaannya setelah terbukti obat itu tidak menyembuhkannya; dia semakin tidak yakin dirinya akan sembuh.
Kasus-kasus perceraian akibat impotensi ini cukup banyak. Umumnya si penderita kurang terbuka, akibatnya tidak banyak yang memberikan masukan. Sebaliknya si isteri hakekatnya merasa dirugikan dengan kondisi suami seperti itu. Idealnya secara Islam laki-laki kotor seperti pada kisah di atas, tidak layak nikah dengan wanita yang baik-baik.
“Umar bin Khatab berkata tentang suami yang lemah syahwat, dia beri tempo setahun. Jika sembuh, perkawinan bisa diteruskan dan jika tidak, si isteri diceraikan dan mendapat mahar serta harus beriddah.” (H.R. Baihaqi).
“Dan laki-laki pezina tidak layak kawin kecuali dengan perempuan-perempuan pezina atau musyrikah, dan perempuan-perempuan pezina pun tidak layak kawin kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.” ( Q.S. an-Nur: 3).
“Wanita-wanita yang keji diperuntukkan bagi laki-laki yang keji. (Sebaliknya) laki-laki yang keji diperuntukkan bagi wanita yang keji. Dan wanita yang baik diperuntukkan bagi laki-laki yang baik. (Sebaliknya) laki-laki yang baik diperuntukkan bagi wanita yang baik.” (QS. An-Nur: 26).
Karena itu selektif saat menentukan pasangan adalah langkah bijaksana. Bahkan dalam hal pemilihan calon isteri Rasulullah tidak membolehkan mengawini wanita-baik-baik tapi berada di lingkungan yang tidak baik, begitu juga sebaliknya. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang, dan karena lingkungan itu dia menjadi terjerumus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda menuliskan komentar Anda tentang tulisan diatas di sini