Sebenarnya aku malu mengungkapkan kisah ini, tapi sekedar ibrah buat yang lain, aku ungkapkan apa adanya. Kisah ini bersifat pribadi bukan keumuman. Aku yakin hanya aku yang mengalami kejadian tragis ini, wanita berjilbab lainnya insyaallah bisa menjaga diri.
Aku lahir dari keluarga taat beribadah. Sekalipun ibu dan ayah bukan mubaligh atau ustadz, namun kehidupan keluarga selalu diliputi suasana keagamaan. Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak pertama laki-laki dan kedua perempuan serta adik semuanya laki-laki.
Aku anak bandel di keluarga. Jilbabku tidak layak disebut jilbab; ketat, kadang transparan. Entah terbawa pergaulan sejak SLTP, aku menjadi tomboy. Walaupun demikian, aku anak penurut, tak pernah membantah jika disuruh orang tua. Kewajiban lima waktu tak pernah terlewatkan. Setiap ada kegiatan positif tak ketinggalan. Aku pandai jaga diri. Sekalipun tomboy, aku bukan wanita murahan. Prestasi sekolah pun tak mengecewakan, walau tak pernah ranking pertama, aku selalu masuk enam besar.
Aku juga tampikan (tidak mudah menerima cinta laki-laki). Banyak laki-laki yang cintanya aku tolak. Aku sangat selektif. Saat SMU kelas III baru aku resmi menjalin cinta dengan seorang teman seangkatan, namun beda kelas. Dia orangnya baik dan pintar. Saat jalan berdua, dia tak pernah berbuat macam-macam.
Namun keimanan seseorang ada batasnya. Semula kami tidak berani saling pegangan tangan, akhirnya terbiasa. Awalnya merasa dosa, namun akhirnya tidak. Lambat-laun aku sering jalan-jalan bergandengan, awalnya memang takut dosa, namun akhirnya terbiasa. Sedikit demi sedikit pergaulan kami meningkat ke arah yang membahayakan. Namun saya masih bisa menjaga diri.
Saat tidak ada seorang pun di rumah, aku kadang berani digendong. Awalnya menolak, namun akhirnya terbiasa. Syetan terus menghembuskan nafsu birahi pada kami berdua sehingga kadang kami mengalami cinta berat dan kerinduan yang sangat mendalam, saat bertemu selalu diawali dengan saling dekapan. Berdekapan pertama kali kami lakukan tidak sengaja ketika di tempat wisata dia mengucapkan selamat atas kelulusanku.
Tamat SMU aku mengambil D-1 PGTK sedangkan dia melanjutkan S-1 di salah satu PTN di Bandung. Pertemuan kami paling seminggu sekali, kadang juga
seminggu dua kali. Kerinduan yang memuncak menyebabkan kami saling melepas rindu, hal-hal yang dilarang terbiasa kami lakukan.
Akibat pacaran dan pertemuan rutin, apalagi pertemuan itu umumnya dilakukan berduaan, tanpa sepengetahuan orang lain, menyebabkan kami makin permisif. Awalnya kami marah saat dia menciumku, namum dia pandai merayu menyebabkan aku terlena dan terbiasa. Lama kelamaan tak segan buka kerudung di hadapan dia.
Syetan telah manjadikan aku budaknya sehingga sedikit demi sedikit menjerumuskan aku tanpa aku sadari. Ironisnya, menampakkan aurat yang merupakan dosa besar, bagiku menjadi hal biasa dilakukan di depan pacar. Maka benar, apa kata ustadz bahwa syetan menjerumuskan anak manusia sejengkal demi sejengkal. Lagi pula pacaran memang tidak menguntungkan.
Pernah suatu waktu aku ingin segera bertunangan, dia malah diam. Katanya terlalu dini, Belum dapat kerja dan masih kuliah. Kondisi kami saat itu bukan lagi anak remaja, tapi sudah sangat dewasa. Apalagi kami sudah hampir menjurus pada perzinaan. Lulus D-1, pacaran terus berjalan bahkan pertemuannya lebih rutin. Kadang kami bertemu di mall atau di tempat wisata. Sementara bertemu di rumah jika keadaan memungkinkan.
Hari minggu, orang tua mengajak berwisata, saya memilih tinggal di rumah. Alasannya tidak berminat, tempat wisata itu terlalu sering disinggahi. Aku telephon dia agar menemaniku. Tentu saja dia mau. Aku berdua di rumah menumpahkan segala kerinduan. Obrolan kami sangat romantis. Saya bermanja-manjaan. Kadang juga pengen digendong. Kami berdua terlelap dalam nafsu birahi, darah telah sampai ubun-ubun, Saya seolah di alam surga yang sangat indah dan menikmati selaksa keindahan itu. Terjadilah kenistaan yang ke luar dari batas kewajaran. Saya kehilangan harga diri sebagai wanita. Saya sadar ketika semuanya telah selesai. Saya nangis dan memukul-mukul dia, berkali-kali dia minta maaf.
Saat itu dia bergegas pulang, takut keluarga keburu pulang. Saat aku buang air kecil, merasakan sakit di sekitar vagina. Muncul perasaan takut yang sangat. Saya telah melakukan dosa besar. Bagaimana jika hamil? Bagaimana jika orang tua tahu? Dan beribu pertanyaan lainnya menghantuiku.
Seminggu itu saya sering melamun. Muncul rasa benci pada pacarku yang telah menodaiku, tapi aku sangat mencintainya. Saat aku bingung dia nelphon, berkali-kali dia minta maaf dan pasti jika terjadi sesuatu akan bertanggung jawab penuh.
Apa yang aku takutkan memang terjadi. Aku terlambat bulan, bahkan sudah menginjak bulan kedua. Aku suruh dia beli alat pengetes kehamilan, hasilnya menunjukkan garis dua merah, menandakan positif hamil Aku stress berat. Malam sulit tidur. Dia juga katanya begitu.
Sebelum semuanya benar-benar gawat, kami memberanikan diri untuk segera dinikahkan. Sebenarnya orang tua kami berdua telah lama mendesak agar kami segera menikah. Kami sepakat untuk merahasiakan bayi dalam kandungan. Dua bulan kemudian kami menikah, saat itu usia kandunganku sekitar tiga bulan.
Namun aneh, akhir bulan ketiga aku keluar darah, tepatnya lima hari setelah pernikahan. Darah yang keluar tidak seperti biasa, kali ini sangat banyak. Mungkin aku keguguran. Ketika aku bilang pada orang tua bahwa aku berdarah, dia malah memandangku sambil tertawa. Katanya itu biasa. Ibuku menyangka itu darah malam pertama.
Akhirnya memang aku keguguran, bulan berikutnya aku haidl. Keguguran itu disebabkan aku sangat capek saat pernikahan, siang malam menerima tamu. Tapi kejadian ini membuatku lega, suamiku bahkan sujud syukur. Dia lebih sayang lagi ketika tiga bulan setelah pernikahan aku hamil.
Walaupun masih numpang di rumah orang tua, tapi rumah tangga kami bahagia. Cinta yang menyebabkan kami saling menyayangi dalam kondisi apapun. Namun perasaan berdosa tidak pernah hilang dalam ingatan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda menuliskan komentar Anda tentang tulisan diatas di sini